BERBAGI DUKA DI RANAH MINANG
Gempa bumi yang terjadi di kota Padang Sumatra Barat akhir september lalu sampai saat ini masih menyisakan duka yang mendalam. Banyak bangunan yang masih dibiarkan terbengkalai apa adanya dengan kondisi yang ambruk atau setengah ambruk sehingga hampir runtuh. Meski beberapa bangunan milik pemerintah sudah ada beberapa yang siap untuk direnovasi, terbukti dengan adanya material bangunan yang ada di halaman gedung dan dikelilingi pagar seng. Sementara di pedalaman kota masih banyak masyarakat yang bertahan tinggal di tenda-tenda darurat bantuan dari pemerintah maupun LSM dalam dan luar negeri, yaitu berupa lembaran terpal yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tenda. Dengan kondisi rumah mereka yang rusak berat retak-retak di beberapa bagian membuat mereka takut untuk tidur di dalam rumah, belum lagi adanya isu mengenai datangnya gempa susulan, merupakan alasan utama untuk tidak tidur di dalam rumah. Apalagi bagi yang rumahnya sudah rata dengan tanah, praktis hanya tenda terpal satu-satunya tempat berteduh dan bermalam. Itulah sedikit gambaran kondisi kota Padang sumatra Barat yang beberapa waktu lalu saya sempat mengunjunginya meski hanya semalam. Namun kenangan untuk bisa berbagi duka dengan ranah minang seakan tidak mudah saya lupakan. Tulisan ini saya buat tanggal 30 Oktober 2009
MULAI MENGGALANG DANA BANTUAN
Berawal dari surat tugas yang saya terima dari pimpinan pondok sebagai koordinator penggalangan dana untuk bantuan korban gempa Padang Sumatra Barat yang beritanya di televisi bisa saya saksikan hampir setiap hari perkembangannya disiarkan. Bencana ini menurut saya merupakan bencana nasional, apalagi lebih dari 1000 orang yang meninggal dunia. Bahkan menurut berita di koran yang saya baca, ada 7 desa yang terpaksa dijadikan kuburan massal disebabkan longsoran yang menimpa desa tersebut. Apalagi akses menuju daerah itu sangat sulit. Akhirnya dibiarkan begitu saja penduduk desa yang terkubur hidup-hidup tanpa melalui proses pemakaman selayaknya. Tapi inilah bencana. Semoga kita senantiasa introspeksi dan mengharapkan kepada Allah SWT untuk memberikan ujian kepada kita yang kita sanggup untuk memikulnya. Pemerintah juga harus tanggap dan memiliki sense of crisis terhadap rakyat. Bukankah selang beberapa hari pemrintah menggelar pelantikan anggota legislatif yang menelan biaya milyaran rupiah?????? Biarlah mudah-mudahan bisa lebih baik di masa yang akan datang.
Saya langsung mengadakan koordinasi dengan anggota team panggalangan dana untuk membicarakan langkah terbaik dan cepat. Akhirnya mulailah bekerja dan alhamdulillah saya mendapatkan waktu untuk sosialisasi di depan ribuan santri. Dan nampaknya mereka sangat antusias untuk berlomba-lomba memberikan sebagian uang sakunya untuk menyumbang korban gempa di Padang Sumatra Barat. Maka terkumpullah uang dari santri sebanyak hampir 8 juta rupiah, dari asatidzah / guru-guru hampir 3 juta, dari Assalaam Medic Care 1 juta rupiah, dan dari sumber yang lain sehingga sampai saat saya buat tulisan ini, telah terkumpul hampir 26 juta rupiah. Ini merupakan jumlah terbesar dalam pengalaman saya mendapatkan tugas dari direktur pondok kaitannya dengan penggalangan dana. Beberapa waktu yang lalu saya pernah mendapatkan tugas yang sama. Yaitu ketika palestina tepatnya jalur gaza diserang habis-habisan oleh laknatullah israel. Waktu itu terkumpul 13juta saja. Sedangkan distribusi dana tersebut saya titipkan ke Mer-C, lembaga Rescue internasional yang salah satu ketuanya adalah alumni Assalaam.
Ketika dana yang terkumpul waktu itu mencapai 15 juta rupiah lebih, saya konsultasikan kepada team pengarah tentang bagaimana cara terbaik untuk teknis pengiriman bantuan dana tersebut.
TRANSFER UANG KE MPP PADANG
Ustadz Bambang Arif Rahman, mantan sekretaris MPP telepon saya memberitahukan bahwa salah satu korban gempa yang saat itu masih tidur di tenda adalah Pak Efrizal Amd, ketua MPP Padang Sumbar. Dia juga memberikan kepada saya nomor Hpnya pak Efrizal. Saat itu juga saya kontak dan menanyakan bagaimana kondisinya dan keluarganya. Dan alhamdulillah semua selamat, apalagi anak-anaknya semuanya tidak tinggal bersamanya. Yang paling ragil sekolah di Bogor. Pak Efrizal sendiri seorang guru SMP Negeri. Konon katanya tiga muridnya kakinya patah, salah satunya adalah murid perempuan dan telah mendapatkan bantuan alat berjalan dari Amerika. Dia sendiri hanya tinggal bersama istrinya dalam sebuah rumah yang sudah retak-retak tidak jauh dari sekolah tempat dia mengajar. Ketika saya amati kondisi rumahnya, bisa saya katakan termasuk rumah yang “biasa-biasa” saja jika disejajarkan dengan wali santri yang lain. Meski saya sendiri belum punya rumah seperti milik pak Efrizal.