Saturday, October 25, 2008

SOWAN PAK KIAI

Ada 3 kiai yang saya kunjungi pada hari kamis dan jum'at pertengahan bulan oktober 2008. ketiga kiai itu menurut saya, bahkan mungkin sudah mafhum semua, bahwa mereka bertiga sudah level nasional. Mereka itu, Kiai Mustofa Bisri (gus mus) Kiai Abdurrohman Basuni (mbah mad, adik Menag) dan Kiai Qoyum (gus qoyum). Gus mus dan mbah Mad dari Rembang, sedangkan Gus Qoyum dari Lasem. Gus mus adalah seorang budayawan yang tidak asing di negeri ini, tulisannya banyak menghiasi media cetak lokal dan nasional, dan sudah menerbitkan banyak buku dari kumpulan-kumpulan tulisannya. Performanya bersahaja. Bliau putra dari KH Kholil Bisri yang meninggal pada tahun 2004 yang lalu di pesantrennya Roudhotut Tholibin Rembang. Saat ini sebagai pengasuh pesantren tersebut yang dihuni sekitar 250 santri yang kebanyakan datang dari jawa tengah.
Lain Gus Mus, lain pula mbah Mad, adik kandung mentri agama RI Maftuh Basuni ini orangnya grapyak, ceritanya banyak dan banyak pula pelajaran yang dapat diambil dari cerita-cerita mbah Mad. Sambil terus menghisap Djarum supernya, kalo ngobrol bisa sampe shubuh. Baru beliau tidur ketika matahari agak mulai tinggi. Di samping rumahnya terdapat mushola yang biasa digunakan untuk sholat jamaah keluarganya dan beberapa masyarakat sekitar. Sebelah mushola terdapat dua kandang besar yang dihuni puluhan burung perkutut. Rupanya mbah Mad ini suka burung.
Gus Qoyyum berbeda lagi. Pengasuh pesantren An-nur lasem ini orangnya tinggi tapi tawadhu', suaranya mantap dan kelihatan sangat hati-hati kalo berbicara. Apalagi kalo memilih kitab yang akan dibelinya atau mendapatkan hadiah kitab, pasti akan melihat dulu ideologi pengarangnya. sangat hati-hati karena menurut beliau tidak sedikit kitab yang awal dan akhirnya sesuai syari'at atau tidak melenceng, tapi beberapa halaman ditengah kemungkinan diplesetkan sehingga perlu diwaspadai. Di rumah tuanya yang sederhana dan adem, ratusan kitab tertata rapi dalam buffet buku yang tersusun berjuz-juz. Hampir tidak ada rak buku yang kosong, semuanya terisi dengan kitab-kitab gundul berbagai judul. Setiap selasa dan jum'at pagi, di pesantrennya digelar acara kajian tafsir Al-Qur'an Jalalain yang diikuti masyarakat sekitar, mulai dari nelayan, pedagang dan petani. dengan tekun mareka duduk menyimak ayat demi ayat yang ditafsirkan. Andaikata di Solo ini ada yang seperti itu.
Banyak yang bisa diambil pelajaran dari ketiga kiai tersebut, mereka adalah tokoh nasional yang diakui kedalaman ilmunya di kalangan kiai NU, yang tidak tertarik terjun ke politik praktis, walaupun banyak tokoh partai yang menawarinya. Gaya hidup mereka sangat sederhana, rumah yang ditempatinya juga sederhana, mereka tawadhu', tidak silau dengan gemerlapan dunia. Pimpinan partai terkadang mampir minta restu beliau berharap dukungan yang ujung-ujungnya adalah kekuasaan.
Saya jadi teringat beberapa kiai yang saya kenal, yang seringkali menasehati dengan suara lantang, untuk menomorduakan dunia dan mengedapankan akhirat, yaitu dengan bekerja penuh ikhlas, dan jangan terlalu berharap dengan gaji yang besar, karena rizki itu dari ALlah SWT. Begitu katanya sambil melafalkan ayat-ayat yang berkaitan dengan pasrah menerima rizki (gaji?). Tapi mereka juga ternyata manusia, terkadang mementingkan perutnya sendiri, tidak peduli dengan nasib yang di bawahnya. dengan memiliki sumber-sumber ekonomi yang tidak bisa di ganggu. Wallahu a'lam bisshowaab